Arsip Kategori: OPINI

Manajemen Bank NTT Saat Ini yang Terbaik Mereka adalah Para Leader Yang Disiapkan

Oleh : Daniel Tagu Dedo *)

Direksi Bank NTT yang bertugas saat ini adalah kader-kader yang dipersiapkan sejak akan berakhirnya Masa Jabatan Direksi (2013-2017). Ada 29 orang yang kami kirimkan ke berbagai Pendidikan Manajemen dan terakhir ke “Rumah Perubahan Prof Renald Kasali”. Saya berdiskusi dengan Prof Renald Kasali bahwa kami Manajemen ingin menyiapkan Calon Leader Bank NTT, karena saat itu saya sudah memasuki Periode kedua di Bank ini. Rencana ini didukung oleh Dewan Komisaris saat itu yang memiliki talenta-talenta hebat antara lain Pak Sekda Provinsi Bapak Frans Salem dan Bapak Prof Fred Benu, sehingga Manajemen saat itu memiliki daya dukung yang luar biasa. Kami juga sering mendapatkan nasehat dari Pak Welliam Nunuhitu dan Bapak Amos Corputi yang  telah meletakkan dasar yang kuat bagi Bank NTT.

Di rumah Perubahan Prof Renald Kasali, para calon leader diberikan berbagai Materi tentang Strategi Bisnis, tentang Perubahan-Perubahan yang terjadi di Dunia Bisnis dan Perbankan, serta tidak lupa simulasi-simulasi Rapat Direksi, Rapat Direksi dengan Dewan Komisaris juga Rapat Umum Pemegang Saham, dan mereka diuji dan diberikan Nilai, dari sanalah kita manajemen saat itu sudah mengetahui siapa-siapa saja Calon Leader masa depan Bank NTT yang semuanya berasal dari internal Bank NTT.

Daniel Tagu Dedo

Saya gembira mendengar Manajemen Baru Bank NTT yang dipilih oleh Para Pemegang Saham diisi oleh Alex Riwu Kaho, Steven Messakh, Chris Adoe, Johny Praing dan Hilarius Minggu. Potensi mereka sudah terlihat selama saya berada bersama-sama mereka. Pak Alex Riwu Kaho pernah saya percayakan menjadi Ketua Tim Penerbitan Obligasi Bank NTT Pertama dengan nilai perolehan Dana Obligasi Rp.500 Milyar. Dan setelah itu bahkan Bank NTT mampu menerbitkan Obligasi lagi.

Jadi dari 29 orang yang disiapkan muncul 5 Leader yang saat ini memimpin di Bank NTT, masih terdapat lagi beberapa yang mampu memimpin Bank ini di masa yang akan datang.

Kinerja Keuangan Bank NTT &Permodalan Bank NTT Posisi Akhir Tahun 2022 Memuaskan

Berdasarkan data keuangan, nampak bahwa Kinerja Keuangan Bank NTT dalam kondisi Sehat dilihat dari aspek pertumbuhan volume usaha, profitabilitas (kemampuan menciptakan laba), likuiditas, efisiensi, dan permodalan. Laba Operasional (unaudited) Tahun 2022 sebesar Rp.337Milyar, dan Laba Setelah Pajak Rp.255 Milyar, lebih tinggi dibandingan Laba Operasional dan Laba Setelah Pajak Tahun 2019, 2020, 2021 (lihat Annual Report tahun-tahun tersebut) yang masing-masing 2019 Laba Operasional Rp.329 Milyar dan Laba Setelah Pajak Rp.236 Milyar, Tahun 2020 Laba Operasional Rp.325 Milyar dan Laba setelah Pajak Rp.236 Milyar, Tahun 2021 Laba Operasional Rp.310 Milyar dan Laba Setelah Pajak Rp.228 Milyar. Trend Laba Operasional dan Laba Setelah Pajak ini menjadi bukti betapa Manajemen Bank NTT saat ini berusaha menghasilkan profitabilitas secara maksimal, walaupun adanya kebijakan penurunan suku bunga Kredit PNS sebesar 5,5%”, atau rata-rata adanya potensi penurunan pendapatan bunga sebesar Rp.263,8 Milyar / tahun yang tidak nampak secara kuantitatif karena adanya pendapatan bunga baru). Penurunan Bunga Kredit kepada PNS adalah kontribusi Bank NTT yang positif untuk meringankan beban pengembalian pinjaman para PNS kepada Bank NTT, yang jumlahnya mungkin saat ini sudah mencapai 60.954PNS sebagai Debitur (Peminjam) di Bank NTT.

Rasio Kredit Bermasalah (Non Performance Loan / NPL) hanya 1,9% berada di bawah rata-rata NPL Perbankan Nasional, kinerja ini SANGAT SEHAT.

Jumlah Kecukupan Perhitungan Modal Minimum (KPPM) 26,55%  adalah SEHAT, walaupun persyaratan Modal Rp.3 Trilliun masih perlu diusahakan penambahannya sebesar +/-Rp.700 Milyar, menurut saya Manajemen tentu sudah dapat mengantisipasi, antara lain melalui kerjasama dengan Bank DKI yang telah memenuhi persyaratan Modal Rp.3 Trilliun dan juga Pak Alex Riwukaho sangat memahami bahwa Bank NTT dapat menerbitkan Obligasi Sub-Ordinasi sebesar Rp.1,5 Trilliun untuk menambah Tier-2 yang akan memperhitungkan Obligasi Sub-Ordinasi sebesar 50% sebagai Tier-2, maka pemenuhan Modal Rp.3 Trilliun dapat teratasi; sehingga pemberitaan bahwa Bank NTT akan di-down grade menjadi BPR menurut saya tidak akan terjadi. Penerbitan Obligasi Sub-Ordinasi tersebut dapat menjadi sumber dana pembiayaan Infrastruktur dan mendorong pertumbuhan kredit produktif di NTT.

Dari aspek perkreditan, saya juga melihat adanya terobosan-terobosan yang bagus untuk membiayai Sektor UMKM dengan sangat serius, hal ini terlihat dengan pembinaan Sektor UMKM dan penyediaan Kredit Mikro Merdeka adalah Inovasi Produk Kredit Mikro yang smart, didukung dengan digitalisasi transaksi yang semakin beragam.

Digitalisasi Transaksi

Di bidangini, saya harus angkat “Dua Jempol”kepada Manajemen dan Karyawan/ti Bank NTT, karena telah melakukan transformasi di bidang transaksi perbankan Bank NTT ke-arah Digital Banking yang memang seharusnya dilakukan. Seharusnya prestasi ini menjadi kebanggaan masyarakat NTT. Kalaupun terdapat kekurangan dalam melengkapi dokumen-dokumen perijinan dari Bank Indonesia, tentunya Manajemen Bank NTT mampu untuk memenuhinya. Karena budaya kepatuhan (compliance nature) sudah terbentuk dalam kurun waktu dua dekade ini di Bank NTT, sejak OJK menerapkan banking compliance system di Indonesia.

Manajemen Bank NTT Mampu mengatasi berbagai Tantangan yang dihadapi

Sebagaimana saya sampaikan di atas, bahwa mereka yang memimpin Bank NTT saat ini telah disiapkan jauh hari sebelum mereka dipilih untuk memimpin Bank ini, sehingga saya percaya mereka mampu melakukan mitigasi risiko terhadap berbagai tantangan yang dihadapi Bank NTT, baik itu internally maupun tantangan persaingan dan tantangan dampak pandemic covid-19, krisis ekonomi dan krisis keuangan yang dikuatirkan banyak pihak. Selain dari Pendidikan manajemen perbankan yang telah mereka lalui, juga pengalaman panjang yang mereka miliki selama menjadi karyawan Bank NTT. Ingatlah mereka para Direksi saat ini adalah pegawai Bank NTT yang meniti karier dari bawah hingga mencapai posisi puncak sebagai Direksi saat ini. Berikanlah kesempatan yang cukup bagi mereka untuk mengelola Bank NTT dengan tenang dan dengan skill yang mereka miliki, mereka butuh dukungan semua pihak di NTT untuk melayani lebih professional dan lebih sungguh. Dan di tangan merekalah kita berharap mereka bisa juga mempersiapkan generasi Pemimpin Bank NTT berikutnya, karena Leader yang Baik akan mampu menciptakan Leader Baru yang lebih hebat.

Opini : Capaian KKM selama BDR di Daerah Terpencil Indonesia

Capaian KKM selama BDR di Daerah Terpencil Indonesia
Oleh : Marlinda K. Atamou, S.Pd

Tugas banyak. Begitu keluhan para murid yang melaksanakan belajar dari rumah (BDR). Belum lagi hambatan lain. Semisal yang disampaikan Syamil Shafa Besayef, siswa SMAN 7 Jakarta yang viral kali lalu.
Dari banyak hambatan, yang paling dikeluhkan ialah alasan teknis. Syamsil menyampaikan keluhan itu pada momen Hari Anak Nasional dan Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan MPR RI. Syamil telah menyampaikan suara minor daerah pedalaman.

Hampir semua pedalaman di Indonesia rata-rata orang tua mengeluhkan tidak adanya gadged, jaringan seluler, dan listrik. Pendapatan masyarakat juga tidak cukup untuk mengadakan perangkat pembelajaran online, termasuk sulit membeli paket internet.
Dalam posisi pandemi sekarang ini hal yang perlu dilakukan adalah perubahan fundamental sistem pendidikan Indonesia. Salah satunya ialah menurunkan ekspektasi kriteria ketuntasan minimal (KKM) sebagaimana pembelajaran normal. Untuk itu, Mendikbud Bpk. Nadim Makarim pernah menyampaikan bahwa yang perlu dicapai dari BDR ialah materi-materi esensial.

Dalam situasi normal saja, kita sulit menemukan sekolah dengan pencapaian pembelajaran (KKM) hingga mendekati 90-100%. Ini dikarenakan KKM memiliki tiga variabel yang turut mempengaruhi hasil pembelajaran. Sesuai panduan penetapan KKM dari Kemendikbud RI tahun 2017 lalu, ketiga variabel itu ialah: 1) intake rata-rata murid terhadap materi pembelajaran; 2) daya dukung terhadap proses pembelajaran; dan 3) kompleksitas materi pelajaran.

Intake atau kompetensi awal rata-rata murid terhadap materi pembelajaran bisa dilihat dari capaian belajar murid sebelumnya. Misalnya dari raport jenjang pendidikan sebelumnya atau daftar nilai ijazah jenjang pendidikan sebelumnya.
Daya dukung ialah segala sumber daya dan potensi yang dapat mendukung penyelenggaraan pembelajaran seperti sarana dan prasarana, lingkungan sekolah, masyarakat, dan keluarga terhadap proses pembelajaran. Termasuk juga kualitas dan kuantitas guru serta tenaga pendidikan yang memadai.

Kompleksitas materi pelajaran adalah tingkat kesulitan/ kerumitan setiap indikator, kompetensi dasar dan standar kompetensi yang harus dicapai oleh peserta didik. Sebagai contoh, suatu indikator dikatakan memiliki tingkat kompleksitas tinggi apabila dalam pencapaiannya perlu didukung oleh komponen guru dan murid yang memadai (baca: berkompetensi bagus) serta memerlukan waktu yang cukup lama untuk memahami materi tersebut.

KKM sebagai acuan kriteria minimal dalam menentukan kelulusan peserta didik selayaknya tidak mungkin sama persis untuk setiap murid, sekolah, daerah, dan situasi yang berbeda. Jika tidak hati-hati, KKM yang ditentukan sekolah malah bisa menjadi batu sandungan bagi kemajuan pendidikan di Indonesia.

Sebagaimana ujian nasional (UN) yang tidak memandang keberagaman individu murid, sekolah, daerah, dan situasi yang berbeda, KKM juga demikian. Jika hanya memakai standar Jakarta untuk menentukan KKM di setiap daerah maka KKM (sebagaimana UN) adalah bentuk pendidikan pukul rata, apalagi jika dokumen dan pelaksanaan kurikulum di sekolah ialah hasil duplikat dari sekolah lain.

Jika dokumen KKM ditentukan sekedar mengikuti tren dengan nilai yang cenderung sama (nilai KKM bagus/ tinggi) untuk seluruh Indonesia maka ibaratnya kita sedang memakai satu obat serbaguna untuk semua jenis penyakit. Di dunia pendidikan tidak mungkin berhasil dengan cara begitu.

Nilai KKM yang asal ditentukan tinggi bisa menjurus pada pragmatisme dan manipulasi evaluasi pendidikan di sekolah yaitu sekedar untuk mencapai KKM bombastis yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam situasi normal saja ada begitu banyak tantangan untuk mencapai KKM, apalagi pada saat BDR sekarang.
Saat BDR, intensitas keterhubungan guru-murid tentu lebih terbatas secara offline. Pada daerah terpencil, apalagi dengan keterbatasan dana, keterbatasan kontrol dari pimpinan sekolah atau pengawas, dan keterbatasan akses ke rumah murid yang paling terpencil, maka intensitas keterhubungan guru-murid bisa diprediksi bersifat insidental (jika tidak mau dikatakan asal sempat).

Materi ajar saat BDR_sesuai silabus dikontrol secara pusat oleh Kemdiknas_berpeluang disampaikan tanpa penjelasan yang memadai mengingat banyaknya murid dan jauhnya rumah murid yang mesti dikunjungi guru dalam waktu yang terbatas pula. Belum lagi fasilitas belajar di rumah murid yang berada di daerah terpencil cenderung sangat terbatas.

Menyikapi banyaknya kendala BDR di daerah terpencil, penulis menawarkan beberapa solusi untuk mencapai KKM di sekolah. Pertama ialah profesionalisme guru. Bagi penulis profesionalisme guru tidak semata guru profesional sebagaimana yang digariskan undang-undang. Guru profesional yang penulis maksud ialah guru yang meski berada di daerah terpencil dengan segala keterbatasan tapi mampu memberikan layanan pendidikan sesuai gaya belajar anak untuk mencapai KKM.

Misalnya saja pada pembelajaran IPA materi jenis-jenis tulang tanpa charta atau torso. Guru dapat memanfaatkan belulang yang berserakan di lingkungan menjadi model pembelajaran. Guru harus kreatif untuk memanfaatkan peluang sekecil mungkin demi pembelajaran yang bermakna, termasuk membangun kerjasama dengan pihak lain. Misalnya dalam pembelajaran antikorupsi mata pelajaran PKn, guru dapat bekerjasama dengan pihak pemerintah desa untuk membedah anggaran dana desa.
Kedua: perlunya evaluasi dan kontrol kinerja guru tidak hanya secara administratif tetapi secara faktual, terutama bagi guru penerima tunjangan profesi. Terkadang data hasil evaluasi dan kontrol yang terekap di atas kertas tidak sama bahkan bertolak belakang dengan realita di lapangan.
Sebagai contoh, tanpa kontrol yang ketat, bisa saja guru di pedalaman dapat meninggalkan tugas dalam waktu lama, tetap menerima tunjangan profesi dengan memanipulasi absensi dengan ‘pemakluman’ dari kepala sekolah. Fenomena ini sudah menjadi rahasia umum untuk beberapa daerah terpencil tertentu.
Ketiga: peningkatan sarana-prasarana sekolah di daerah terpencil termasuk digitalisasi pendidikan agar daerah terpencil tidak tertinggal dibanding daerah kota. Dalam suasana BDR paling tidak pembelajaran digital dapat dilangsungkan tanpa terkendala fasilitas termasuk jaringan internet.
Keempat: perlunya dukungan dari orang tua, lingkungan, organisasi penggerak, dan pemerintah agar ada perbaikan dari sisi asupan gizi murid, tersedianya lingkungan dan waktu belajar yang memadai. Dengan semikian materi esensial sesulit apapun diharapkan dapat dicapai murid yang akan terbaca pada Asesmen Nasional (pengganti UN) pada Maret 2021 mendatang. Semoga.